Oleh Rosalia Prismarini Nurdiarti Alumna FISIP 2002 Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Yogyakarta
anakatma.id – Lama rasanya waktu menunggu panggilan itu, entah aku ada di urutan waiting list ke berapa. Kulihat satu per satu teman-temanku sudah mendapatkan tempat Kuliah Kerja Lapangan yang diinginkan. Beberapa instansi media di Jakarta sudah kulamar, mulai production house hingga beberapa media swasta nasional. Hampir satu semester menunggu, panggilan itu tak kunjung terdengar.
Beberapa media dan production house di Jakarta yang aku taksir, belum menyapaku. Beruntung aku mempunyai teman-teman seangkatan yang cukup care. Mereka membantuku memasukkan aplikasi ke TRANS TV. Mereka yang sebelumnya telah magang di beberapa program acara di sana, ternyata tahu celah bagaimana proses dan prosedur waiting list berlangsung. Sehingga ada yang menolongku untuk sampai pada beberapa urutan atas dari daftar panjang itu.
Waktu itu teman-teman angkatanku (2002) di Prodi Komunikasi FISIP UAJY memang sangat Jakarta minded ketika memilih tempat magang. Di sisi lain para dosen cenderung mendorong untuk mencari pengalaman pada instansi skala nasional sesuai konsentrasi studi. Tak jarang kami rela menunggu lama demi tempat magang yang sesuai âidealismeâ kami.
Kompetisi akademik begitu terasa kala itu. Sebuah keberhasilan, âkesuksesanâ, diukur dari seberapa kredibel dan bergengsi sebuah tempat magang., selain melihat IPK dan keaktifan seorang dalam berbagai kegiatan dan organisasi. Akhirnya aku diterima di sebuah media swasta nasional yang relatif baru kala itu, tapi menurut pandangan beberapa orang cukup bersaing karena memiliki beberapa program yang dinamis dan kreatif.
Beberapa hari aku mengalami bagaimana aura bekerja di bagian news Reportase Sore TRANS TV. Menegangkan, penuh konsentrasi, kecepatan dan kecekatan. Seolah individu-individu yang bekerja di sana dijadikan sebagai komoditas. Mereka membaktikan waktu dan tenaga mereka hampir 24 jam.
Belum lagi ketika harus menyiarkan sebuah berita secara live, seluruh orang yang ada di divisi pemberitaan heboh mempersiapkan segala keperluan mulai dari konsep hingga teknis. Banyak dari mereka sudah kebal dengan lontaran kata-kata kasar dari produser maupun asisten produser.
Jika ada sesuatu yang tak beres atau kurang, acap terdengar ungkapan ketidakpuasan mereka. Bagi anak magang sepertiku, hal-hal keseharian rutinitas media seperti ini yang tidak pernah terungkap di bangku kuliah.
Setelah hampir satu bulan magang sebagai asisten produksi, aku baru diperbolehkan untuk ikut liputan para reporter itu. Ketika meeting pagi, masing-masing sudah ditentukan pos-pos mana saja yang akan mereka tempati.
Gedung DPR, kantor KPK, Mabes POLRI dan beberapa departemen di kementrian menjadi pos wajib yang menjadi sumber berita. Ketika ada reporter atau wartawan yang ketinggalan moment atau kejadian penting, mereka bisa dengan mudah meminta copy visual atau data dari media tetangga.
Pengalaman beberapa hari di lapangan membuatku semakin mengenal behind the scene dalam sebuah acara news yang berlangsung 30 menit itu. Sangat berbeda ketika membantu proses produksi di kantor, aku lebih fokus pada pengumpulan naskah berita yang dikirim oleh kontributor daerah. Di newsroom, produser, asisten produser, eksekutif produser dan beberapa reporter menentukan berita-berita mana saja dari para kontributor tersebut yang akan ditayangkan.
Pernah suatu kali ketika mengikuti liputan tentang rehabilitasi orang-orang yang baru keluar dari rumah sakit jiwa, seorang reporter meminta salah satu di antara mereka berakting menjadi petugas kebersihan sambil membawa gerobak sampah. Semacam seremonial bagi mereka yang telah sembuh (keluar dari RSJ) dan kembali ke masyarakat setelah dibekali ketrampilan-ketrampilan tertentu. Ironisnya liputan menjadi tidak natural, ketika sang reporter meminta beberapa pasien yang baru sembuh mempraktekkan ketrampilan mereka.
Belum lagi ketika ada reporter yang meminta gambar (rekaman kejadian atau peristiwa) pada reporter media lain, tak pelak segala polah itu mengejutkanku. Adakalanya ketika liputan sedang padat, beberapa di antara mereka berperan ganda, menjadi cameraman sekaligus reporter.
Satu bulan sudah hampir kulewati, bagian HRD memintaku untuk memperpanjang satu bulan lagi, karena ada salah satu asisten produksi yang sedang cuti hamil. Waktu yang sedikit lebih panjang dari teman-teman lain, semakin membukakan mataku tentang seluk-beluk media, khususnya pada divisi pemberitaan. Rating menjadi jantung dan barometer dari seluruh kerja keras mereka.
Setiap satu minggu sekali, masing-masing staf yang terlibat dalam program Reportase Sore melihat rapor mereka. Ketika hasil rating mengalami penurunan, para petinggi divisi news seperti kebakaran jenggot. Mereka akan cenderung panik dan akan segera mengadakan rapat.
Aku mulai memahami sisi lain berita sebagai âbarang daganganâ. Bahkan para petinggi di newsroom menyebutnya dengan istilah âbelanjaanâ, âjualanâ atau âmenuâ. Itu merupakan kode untuk mendata berita apa saja yang akan tayang hari itu. Layaknya sebuah komoditas, ketika dinyatakan tidak laku oleh rating, mereka akan melakukan beberapa cara untuk memoles kembali.
Jauh saat masih di SMU, aku melihat profesi sebagai wartawan, reporter atau jurnalis adalah pekerjaan keren, hebat dan mulia. Mereka memberikan informasi yang bermanfaat bagi masyarakat dan berani menanggung segala resiko dalam segala peristiwa. Alasan itulah yang mendorongku untuk menekuni bidang ilmu komunikasi, dan memilih Universitas Atma Jaya Yogyakarta sebagai tempat aku berguru.
Perjalanan waktu menuntunku untuk melihat lebih dekat bagaimana ârealitasâ media itu. Suatu ketika âmenu belanjaanâ sudah diatur sedemikian rupa, hingga beberapa saat sebelum Reportase Sore on air, ada sebuah telepon âmisteriusâ, sehingga ada tayangan yang harus di-cancel dan digantikan dengan tayangan âpesananâ berupa seremonial dari salah satu pemegang saham TRANS TV.
Saat itu juga, ruang kontrol segera menayangkan acara âpesananâ tersebut. Sebuah peristiwa yang âluar biasaâ dan ajaib bagiku saat itu. Bisa-bisanya semudah itu mengganti tayangan hanya gara-gara telepon misterius. Penasaran sebenarnya ingin menanyakan siapa sang penelpon, tapi apa daya pertanyaan sebagai anak magang hanya dianggap sebagai angin lalu.
Media pada akhirnya tak ubahnya sebagai penyalur kepentingan para pemilik modal. Gagasan Habermas tentang media sebagai institusi sosial yang memfasilitasi masyarakat, menjalankan diskursus sosial yang komunikatif demi pencapaian kepentingan masyarakat yang demokratis seakan justru menjauh.
Profit keuntungan, gejala privatisasi media dan komersialisasi ruang publik menjadi target capaian, ketimbang peran-peran sosial yang harus dikembangkan. Pada fakta-fakta inilah, harapan dan kepercayaanku akan media dan seluruh entitas di dalamnya yang mampu menularkan proses pemberdayaan dan edukasi pada masyarakat perlahan memudar.
Langkah Baru Menghapus Cita-Cita Semu
Beberapa waktu setelah proses Kuliah Kerja Lapangan, aku memiliki pandangan yang berbeda tentang bekerja di media. Aku menjadi kurang simpati dan kurang memiliki greget berkecimpung dalam dunia media. Akhirnya aku menentukan pilihan untuk bekerja di lingkungan pendidikan, penelitian atau semacam NGO dan LSM. Kuliah hingga hampir tujuh tahun, rasanya membuatku lebih mampu melihat bagaimana seluk-beluk ilmu komunikasi.
Setelah lulus di awal 2009, ternyata masa penantianku belum selesai, puluhan berkas lamaran kukirim, tapi hingga sembilan bulan belum menemukan tempat yang sesuai. Beberapa tes yang kuikuti juga tidak membuatku lolos ke tahap berikutnya. Aku sempat berpikir, apa aku terlalu pemilih. Namun bagiku, tak ada salahnya menjadi pemilih, sebab ketika kita berkarya menggarap sebuah ladang maka fokus dan komitmen kita sepenuhnya kita abdikan pada bidang tersebut.
Seorang yang memiliki IPK yang mumpuni, mengantongi beberapa skill serta aktif dalam beberapa organisasi ternyata belum tentu âditaksirâ oleh instansi atau lembaga-lembaga itu. Aku mengalami ditolak karena apa yang mereka butuhkan tidak ada padaku. Tak jarang instansi itu menerima orang-orang sesuai yang mereka perlukan saat itu, atau mempunyai spesialisasi atau kualifikasi tertentu sesuai dengan âurgensitasâ instansi saat itu.
Tampaknya pada sisi ini, Prodi Ilmu Komunikasi Atma Jaya perlu melihat kembali, memetakan ulang kebutuhan stakeholder dalam hal ini lembaga/instansi yang concern di bidang komunikasi. Menyelenggakan penelitian yang berhubungan dengan jaringan yang terkait dengan pendidikan tinggi menjadi penting, untuk mampu memahami setiap perkembangan kebutuhan jaman. Sehingga ini membantu para lulusan untuk mampu menangkap peluang yang ada dan mempunyai kepekaan untuk berproses dalam bidang masing-masing.
Elemen pendidikan, tak terkecuali pendidikan tinggi tidak terlepas dari penyelenggara pendidikan yang di dalamnya merupakan satuan pendidikan yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat swasta, didukung oleh pimpinan (rektor, dekan, dll), pendidik (dosen) dan tenaga pendukung administrasi. Pengguna hasil pendidikan, orang tua dan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara, tentunya mengharapkan hasil pendidikan berupa kompetensi yang dapat digunakan untuk membangun kehidupan keluarga, masyarakat, bangsa dan negara.
Masing-masing pada akhirnya akan memberi kontribusi berupa sumber dana, fasilitas belajar dan magang, bantuan manajemen serta dukungan atas kebijakan pendidikan agar terwujud kompetensi yang bermutu. Sinergi antara entitas dalam pendidikan ini bisa dilalui dengan beberapa tahap yang merupakan siklus pembelajaran untuk mengidentifikasi masalah, hambatan dan strategi untuk mengatasinya.
Tahap tersebut di antaranya: sosialisasi gagasan, uji coba, implementasi skala kecil, implementasi penuh, evaluasi dan penyempurnaan. Tahapan tersebut digunakan untuk memetakan bagaimana strategi pendidikan tinggi dalam mengelola stakeholder yang terlibat di dalamnya (Musa, 2008 : 146).
Menyadari hal tersebut, aku tak ingin putus asa. Suatu waktu di awal 2010, ketika dalam perjalanan pulang kampung setelah menjalani tes wawancara, seorang teman seangkatan mengabarkan bahwa sebuah universitas swasta di Yogya sedang membuka Prodi Ilmu Komunikasi baru dan membutuhkan tenaga pengajar.
Aku melonjak kegirangan dan bersemangat mendengar berita itu. Tadinya kupikir cita-cita untuk berkecimpung di dunia pendidikan jauh panggang dari api, mengingat aku hanya lulusan S1 dan untuk mengajar di Perguruan Tinggi diperlukan pendidikan yang minimal setingkat lebih tinggi. Tak lama waktu yang kuperlukan untuk mengurus proses lamaran di tengah deadline waktu pendaftaran yang diberikan. Keyakinan dan tekad itu akhirnya berbuah manis. Tak berapa lama setelah mengikuti serangkaian tes, aku diterima di Kampus Mercu Buana Yogya, mengalahkan beberapa pesaing, yang salah satunya teman seangkatanku.
Aku sampai berpikir ada faktor âXâ yang membuatku diterima, barangkali karena aku masih mau âberkompromiâ dengan gaji yang ditawarkan. Hari-hari pertama aku masuk, langsung berkoordinasi dengan pihak rektorat dan SDM. Mengawali minggu dan bulan dengan serangkaian âpelajaranâ tentang seluk beluk dunia pendidikan. Seperti lari marathon rasanya. Prodi yang baru mendapat ijin dan mulai dirintis, perlu usaha yang optimal untuk mensinergikan antara satu dengan yang lain.
Menggawangi sebuah prodi atau fakultas baru untuk anak bau kencur seperti aku, sangat tidak mudah. Sebersit rasa khawatir, takut dan minder turut mewarnai bagaimana pengalamanku di awal menapaki dunia ini. Koordinasi dengan pihak Rektorat Mercu Buana Yogya dan tentunya mahaguru di padepokan Komunikasi FISIP Atma Jaya menjadi hal yang urgen saat itu bagiku.
âLearning by doingâ, barangkali itulah kondisi yang tepat untukku waktu itu. Aku belajar bagaimana menggodok kurikulum, mencari mahasiswa, marketing prodi, mendata dosen-dosen yang akan mengajar, mengelola keuangan, hingga mengatur teknis perkuliahan.
Berkecimpung dalam dunia ini, aku memulainya dengan spirit bahwa pendidikan merupakan pilot project dan agen untuk melakukan perubahan sosial guna membentuk masyarakat baru. Menjadikan pendidikan sebagai pilot project berarti berbicara tentang sistem politik kebudayaan yang melampaui batas-batas teoritis dari doktrin politik tertentu. Di sisi lain juga bicara tentang keterkaitan antara teori, kenyataan sosial dan makna emansipasi yang sebenarnya.
Sebagai dasar melakukan perubahan, pendidikan merupakan wadah dan âsurat perjanjian khususâ dengan masyarakat yang menentukan kehidupan sosial di masa yang akan datang. Menyitir pandangan Paulo Freire, pendidikan merupakan latihan untuk memahami makna kekuasaan dan komponen yang terlibat di dalamnya dalam berkomunikasi, tidak dalam pola kuasa-menguasai. Tetapi lebih pada hubungan dialektis antara individu dan kelompok, untuk melepaskan diri dari dominasi yang membatasi ruang gerak (Freire, 2009 : 5-6).
Aku menyadari pekerjaan rumah bagi tantangan pendidikan tak kunjung rampung. Problem sekolah mahal, isi kurikulum dan menjamurnya kebijakan privatisasi pendidikan sangat terkait dengan bagaimana perubahan pada tingkatan makro terjadi. Salah satu unsur yang menjadi jantung adalah sejarah pengembangan kurikulum dengan berbagai variasi perubahannya baik pada wilayah isi dan pengelolaan tema-tema pendidikan, pembiayaan dan tahapan pelaksanaan, selalu dekat dengan gesekan-gesekan berbagai kepentingan.
Melangkahkan kaki dalam sistem besar pendidikan, memiliki konsekuensi untuk memahami, mendalami dua sisi dalam dunia tersebut. Tuntutan yang secara normatif ditegaskan dalam Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional bahwa tujuan pendidikan harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global.
Kebijakan kurikulum menjadi salah satu mata rantai dari bangunan pendidikan. Kebijakan tersebut bukanlah entitas netral yang yang hanya menjadi kepedulian sektor pendidikan. Kurikulum adalah prototipe wajah generasi pendidikan yang harus disusun dalam kerangka yang luas menyertakan seluas-luasnya keterlibatan masayarakat.
Gagasan Louis Althusser barangkali menjadi benar bahwa pendidikan mampu menjadi âmesin aparatus ideologisâ yang paling efektif untuk membangun berbagai narasi pengetahuan yang mendukung formasi sosial. Tinggal yang terpenting bagi kita saat ini adalah âformasi hubungan sosialâ apa yang saat ini akan Indonesia rumuskan untuk membangun model-model pendidikan yang tepat bagi kebutuhan masyarakat.
Strategi dalam Berkompetisi pada Pendidikan Tinggi
Bagaimana pun, sebuah gagasan besar harus diimplementasikan dan dioperasionalkan dalam tindakan nyata. Elemen lain yang tak kalah penting sebagai Prodi baru adalah terkait mencari calon mahasiswa di tengah belantara persaingan Perguruan Tinggi Swasta yang begitu hebat. Hingga Perguruan Tinggi yang kalah bersaing harus gulung tikar. Dari data Kopertis V, pada tahun 2009 ada 117 Perguruan Tinggi Swasta sedangkan di tahun 2010 tinggal 115 PTS belum lagi ada tiga prodi yang ditutup karena kekurangan mahasiswa (IRE, 2010).
Data lain menunjukkan bahwa sejak disahkannya UU No. 12/2012 tentang Perguruan Tinggi membuat kondisi PTS semakin terjepit. Hal ini disebabkan PTN diberi kesempatan untuk membuka program Diploma (mulai D1-D4) (Pikiran Rakyat, 15 September 2012). Alhasil persaingan untuk mendapatkan mahasiswa semakin sengit.
Problem pada sektor kebijakan pendidikan hampir selalu pragmatis, tanpa menyentuh realitas konkrit di lapangan sehingga acap berbenturan. Negara dalam hal ini tidak seharusnya berposisi hanya sebagai âpanitia pelaksanaâ, sehingga sebuah kebijakan seolah terkesan dibentuk dan dikawal oleh para agen penentu yang telah berorientasi pada visi kepentingan kelas dominan.
Uraian pembukaan UUD 1945 secara eksplisit menyatakan bahwa hakikat dan tujuan bereksistensinya keindonesiaan adalah meletakan tujuan pendidikan sebagai ihwal yang penting. Salah satu orientasi besar negara ini berdiri adalah âmencerdaskan kehidupan bangsaâ.
Pada rumusan tersebut, ada nalar profetis bahwa âkecerdasanâ harus dimiliki oleh segenap entitas bangsa. Mengikat âkeindonesiaanâ dalam spirit pengembangan modal pengetahuan adalah cita-cita luhur yang secara normatif belum kita ubah sampai hari ini.
Bahkan lebih dari itu, konsepsi di atas ingin mengatakan bahwa pendidikan adalah âsumberâ sangat besar dalam membawa Indonesia bisa merdeka dan berdaulat sebagai bangunan masyarakat bangsa yang modern (Narwaya, 2009).
Tetapi jika ditilik lebih dalam, ternyata pusat kebijakan dan infrastruktur penting yang hanya terpusat pada pemerintahan pusat yang notabene di Jawa mendorong akses pendidikan sangat terkosentrasi di Jawa. Hal ini tak pelak menimbulkan kesenjangan yang luar biasa, sehingga berdampak pada tingkat kemajuan pendidikan di daerah.
Kompleksitas bangunan pendidikan, membuat sepanjang usia kitapun barangkali belum cukup menjelajahinya. Spirit itu membuatku mulai menapak kembali ke tanah, mengurai satu demi satu apa yang harus dilakukan untuk membuat pondasi pada prodi baru ini.
Secara manajerial Universitas Mercu Buana sedang melakukan rebranding, setelah pergolakan politik pasca 1998 yang sempat menggoncang kampus yang semula bernama Wangsa Manggala ini. Perlahan aku mempelajari sejarahnya, budaya organisasinya hingga aktor-aktor yang berperan penting dan menjadi âthink tankâ di kampus tersebut, khususnya pada Fakultas Ilmu Komunikasi dan Multimedia.
Secara makro, aku juga membaca beberapa isu terkait pendidikan, tak luput adalah tentang kompetisi yang semakin ketat karena Indonesia telah terintegrasi dalam Masyarakat Ekonomi Asean. Pada level nasional mulai bermunculan PTS yang dibangun dengan model korporasi, salah satunya adalah memiliki fasilitas yang serba lengkap dan berwawasan global (Hadi, 2014).
Mengamati hal ini, tentu semakin diperkuat kembali konsolidari internal organ- isasi dan juga bagaimana menjalin relasi dan jaringan dengan pihak luar. Apa yang menjadi kekhasan sebuah perguruan tinggi, secara khusus pada tingkatan fakultas harus dipertahankan dan diupayakan agar dapat menjadi unggulan. Kecepatan perkembangan di tingkat global, memaksa sebuah instansi pendidikan untuk mampu berjuang antara âidealismeâ dan ârealitasâ yang tak jarang membuahkan âkompromiâ.
Pasar selalu menjanjikan bahwa dalam situasi âpasar terbukaâ, maka kompetisi dapat berjalan dan selanjutnya membuka tingkat pertumbuhan dan kemajuan masyarakat secara lebih sehat. Inilah mitos yang selalu dibangun. Mungkin âkompetisiâ menjadi sangat menyenangkan bagi kekuatan negara dengan tingkat modal raksasa yang dimilikinya dan tentu sangat menyakitkan bagi negeri-negeri miskin yang selalu tergantung seperti Indonesia.
Tak terkecuali dalam bidang pendidikan, yang tak luput dari âjebakanâ hitunganhitungan angka ekonomis yang meletakkan kebijakan pendidikan bak entitas mesin penghasil keuntungan. Aku merasakan tarik-menarik yang demikian hebat ketika investasi modal, laba dan kepentingan pragmatisme pasar menjadi orientasi dasarnya. Pun juga ketika mengkerangkai logikaku bahwa pendidikan tak lebih dari âindustriâ jasa.
Pergulatan itu semakin dalam saat aku harus berdiri untuk memasarkan Prodi Ilmu Komunikasi baru di Mercu Buana. Betapa saat itu, aku juga dikejar belajar tentang strategi marketing untuk perguruan tinggi. Merangkak dari awal hingga bermimpi untuk berkembang, mengusahakan nadi agar terus mengalir: calon-calon mahasiswa baru yang harus kami ârayuâ.
Pendidikan tidak hanya dicermati dalam narasi besar, tantangan berikutnya justru hadir ketika sampai pada spesies problem-problem teknis yang tak kunjung usai. Ketika masuk dalam logika kompetisi, maka âmenangâ dan âkalahâ agaknya menjadi rumus wajib untuk menjawab itu. Salah satu strategi yang bisa diupayakan untuk sebuah prodi baru adalah âmerangkulâ para âpelangganâ, siapa lagi jika bukan calon mahasiswa dan mahasiswa yang mempercayakan âhidupnyaâ pada sebuah institusi pendidikan.
Customer (pelanggan) dalam âjasaâ pendidikan akan lebih tepat jika diartikan sebagai âconstituentâ, yakni sebagai elemen penting dalam suatu constituency. Konstituen lebih baik dan lebih jelas dalam menggambarkan berbagai hubungan yang ada dalam organisasi yang bergerak di bidang jasa pendidikan seperti hubungan dengan mahasiswa, orang tua, tenaga pengajar, dewan penyantun, calon mahasiswa atau alumni.
Strategi Customer Relationship Management (CRM) ini merupakan suatu cara untuk melakukan komunikasi secara personal dalam skala makro. CRM akan menghasilkan gambaran setiap individu yang berada dalam organisasi beserta segala aktivitasnya dengan jelas dan lengkap. Konsep CRM menuntut komitmen dan kontak pelanggan yang tinggi, sehingga akan menghasilkan kualitas total. Tidak hanya sekedar pada orientasi output semata (Gaffar, 2009: 187-198).
Jika banyak orang menggadang-gadang agar pendidikan bisa diakses oleh setiap warga negara, maka pilihan tersebut bisa menjadi salah satu alternatif yang tak hanya sebagai pemanis bibir. Pendidikan tinggi akan mampu dijangkau apabila kita sungguh berorientasi pada peserta didik (constituent). Dengan demikian anak dengan tingkat intelektualitas dan ekonomi rata-rata masih dapat mengenyam pendidikan tinggi.
Pendidikan mungkin tidak harus gratis, tapi institusi pendidikan secara mandiri mampu mengupayakan agar terbuka kesempatan yang sama antara si kaya dan si miskin.
Pendidikan mungkin tidak harus gratis, tapi institusi pendidikan secara mandiri mampu mengupayakan agar terbuka kesempatan yang sama antara si kaya dan si miskin. Contact management sebagai tahapan dari CRM bisa dijadikan sebuah langkah untuk mencatat setiap touch point utama dengan konstituen dan selalu meng-update database dengan informasi yang spesifik sehingga antara institusi dan mahasiswa bisa secara kontinyu melakukan interaksi serta komunikasi.
Campaign management adalah tahap selanjutnya yang berisi rancangan kampanye dengan content yang unik dan personal, yang secara khusus ditujukan untuk meningkatkan kesempatan belajar bagi semua kalangan. Terakhir adalah senantiasa merawat komitmen untuk memperoleh, meningkatkan dan menganalisis data konstituent sehingga mampu mengambil keputusan secara arif berdasarkan data tersebut.
Tahap-tahap tersebut akan membentuk dasar dan pemahaman bagi tahapan selanjutnya dalam proses CRM, sebagai contoh untuk melihat apakah mahasiswa mendapatkan bantuan dana pendidikan, berapa kali dan darimana sumber pendanaan itu (Gafar, 2009 : 192 â 193).
Belajar dari Mahasiswa: Sebuah Perspektif Dialogis
Hampir lima tahun aku menggeluti dunia pendidikan yang dalam pandanganku di awal sarat dengan dimensi etis dan âkesalehanâ yang kental. Tetapi nyatanya dalam setiap sisi kehidupan dalam menekuni profesi, kita acap dihadapkan pada paradoks dan dua sisi mata uang. Hal itu hampir selalu menimbulkan kelindan antara rasio, rasa dan tindakan. Ketika sampai pada kondisi ini, ada nilai-nilai dasar yang seharusnya mampu tetap dipertahankan, tidak semata untuk profesionalitas tapi juga menghidupi Sang hidup itu sendiri.
Persoalan pendidikan hadir bukan hanya diterjemahkan dalam disparitas kesenjangan antara yang ideal dan yang real. Nalar korespondensi ini seringkali mengungkung pada analisis dan pemecahan yang sekedar mendorong masalah untuk dikembalikan pada âgerbang normatifâ dan âbatasan-batasan idealâ. Perlu pengkoreksian besar-besaran dalam seluruh nalar paradigma pendidikan sehingga bisa ditemukan problem-problem mendasar yang dapat dipecahkan. Jadi tidak berhenti pada pemecahan-pemecahan teknis dan instrumentalis.
Setiap gagasan perubahan sistemik dan paradigmatik sebenarnya banyak mensyaratkan kesiapan-kesiapan mendasar. Tahapan awal yang perlu dipersiapkan adalah kehendak pada mindset nalar pikir perubahan yang menjadi bekal epitestemik untuk mendorong perubahan-perubahan pendidikan lebih maju. Pijakan dan pondasi awal tentunya bisa dimulai dengan mendidik mahasiswa, menjadi dosen, karya pengajaran, dan lain-lain.
Berada di tengah input mahasiswa yang bagi sebagian orang dianggap rata-rata memerlukan energi ekstra dan rencana yang berkelanjutan. Jika kita âlalaiâ sedikit saja atau terkesan âmengabaikanâ keinginan dan kebutuhan para mahasiswa, maka mereka bisa saja menghilang dalam relasi kita dan hal ini juga tidak lepas dari teropong kendala sebuah Perguruan Tinggi Swasta. Lebih dari itu, aku tak hendak terpaku pada orientasi tersebut.
Merawat mereka tak sebatas pada kepentingan âuntung rugiâ, tapi memahami mereka sebagai bagian dari proses humanisasi. Sebagaimana diungkap Allan Thomas (dalam Alma, 2009 : 16-17), bahwa pendidikan hendaknya bertanggungjawab untuk memberikan pelayanan, menginternalisasikan nilai-nilai dan motivasi serta mengasah kompetensi peserta didik agar terwujud manusia yang berkualitas, bertanggung jawab, serta berkarakter unggul.
Melalui perspektif tersebut, aku berusaha melihat kembali pada apa yang telah kukerjakan sepanjang tahun-tahun itu. Aksi-refleksi-aksi perlu dilakukan untuk bercermin pada mozaik karya-karya yang telah aku sumbangkan sejauh ini. Kualitas pendidikan bisa dilihat dalam tiga dimensi: mutu hasil belajar, mutu mengajar dan mutu bahan kajian pengajaran (Acmad Sanusi dalam Alma, 2009 : 24-26).
Seorang pendidik dalam praktek mengajar tidak identik dengan apa yang sebenarnya dia ketahui, kuasai atau bahkan yang dia kehendaki sendiri. Sejatinya orang hanya dapat mengajar dan mengajarkan sesuai dengan kepribadiannya.
Performa seorang pendidik dipengaruhi oleh dunia makro dan mikronya. Maka selain pengetahuan dan kompetensi pedagogis, setidaknya persepsi dan sikap terhadap sejumlah faktor lain di luar dirinya turut berkontribusi pada pola dan mutu mengajar. Bahan kajian dan pengajaran juga menjadi benang merah yang memberi nafas agar peserta didik mampu memilih cara belajar yang berkualitas. Kemampuan mengolah bahan kajian akan memberi daya kekuatan yang dapat membangkitkan seluruh potensi pikiran, rasa, kemamuan dan kepercayaan peserta didik.
Guru yang humanis harus tepat dalam memahami hubungan antara kesadaran mausia dan dunia. Bentuk pendidikan yang membebaskan melalui definisi ini menawarkan suatu âarkeologi kesadaranâ. Dengan usahanya sendiri, seorang bisa menghidupkan kembali proses alamiah dimana kesadaran timbul dari kemampuan mempersepsi diri. Hal ini terjadi karena kesadaran reflektif menyebabkan manusia digolongkan sebagai makhluk yang mampu memahami sesuatu dan sekaligus memahami dirinya sendiri.
Oleh karenanya, kesadaran timbul sebagai hasrat, bukan wadah kosong yang harus diisi. Berangkat dari kesadaran itulah, guru adalah subyek yang mencoba mengetahui bersama subyek lainnya. Guru seyogyanya menyadari bahwa dialog tidak dimulai di dalam kelas, sehingga dia mempersipkan suatu program yang mengakui peran murid dalam penciptaan kembali pengetahuan.
Peran ini akan melibatkan murid juga dalam pendidikan mereka sendiri yang lebih lanjut. Guru dapat mengusulkan tetapi tidak dapat menentukan, sehingga dia kahirnya berperan dalam mengorganisasikan isi dialog (fasilitator) (Freire 2007; Collins 2011).
Relasi guru-murid, dosen-mahasiswa, pendidik-peserta didik menjadi unsur penting dalam pendidikan. Mereka menjadi satu kesatuan yang tak terpisahkan dalam proses belajar mengajar. Peran yang dilakukan sangat kompleks di antaranya sebagai korektor, fasilitator, informator, inspirator, organisator, motivator, inisiator, pembimbing, demonstrator, pengelola kelas, mediator, supervisor, dan evaluator. Tetapi masih melihat bahwa sifat yang sering muncul dalam pendidikan kita adalah paternalistik, di mana guru menjadi pusat atau sumber pengetahuan dan kebenaran mutlak.
Di sekolah dasar hingga perguruan tinggi, yang kerap terjadi sesungguhnya bukanlah pendidikan dalam arti sebenarnya, tapi sekedar pengajaran. Transformasi yang terjadi belum menyentuh pada transformas etika, perilaku dan moralitas. Hal ini salah satunya berakibat pada gagapnya peserta didik dalam menghadapi perkembangan teknolgi informasi yang begitu pesat hari ini (Susetyo, 2005: 148-152).
Kecenderungan untuk menempatkan kemajuan teknologi sebagai nilai tertinggi tidak hanya berarti pendewaan kita pada intelektualisme, tapi lebih gawat adalah keterikatan emosi kita yang mendalam pada mesin, benda mati, pada semua benda buatan manusia. Akibat lebih ekstrim adalah ketika tidak bisa membedakan mana kehidupan dan âsarana menjamin kehidupanâ (Pieries, 2007:Â 56).
Revolusi teknologi ini turut âmenjangkitiâ beberapa mahasiswa dalam proses belajar mengajar yang aku alami. Berapa kali aku menjumpai para mahasiswa yang copy paste dalam mengerjakan tugas. Ketika seorang pendidik belum mampu mengelaborasi kemajuan teknologi dan karakter dalam pengajarannya, maka keadaan ini secara sistemik akan memperkeruh kreativitas dan daya nalar seorang murid, akhirnya akan berpengaruh pada daya kritis terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dilema tersendiri ketika harus menghadapi mereka dalam âbatas kesabaranâ, sementara teringat pula bahwa pengajar sebagai bagian dari pendidikan tinggi (Prodi yang masih berkembang) berkewajiban âmenjagaâ konstituennya dengan memberi manfaat seluasnya pada siswa (student centric focus).
Belajar memahami dan memaknai bahwa kehadiran âmedia baruâ saat ini tidak luput dari kaitan dengan problem mendasar tentang âperadaban material teknologiâ. Tidak lagi teknologi yang dikonsepsi sebagai sebatas persoalan âperangkat teknisâ, tetapi sebuah entitas maha luas yang menjadi bagian utuh dari peradaban manusia.
Meminjam pandangan Lewis Mumford bahwa teknologi sebagai bagian penuh dari âeksistensi-bertubuhâ dari manusia. Alat teknologi sebagai mediator diantara manusia dan dunia merupakan sebagian dari pengalaman manusia yang bertubuh. Pandangan ini sebenarnya kata kunci khas yang banyak dikembangkan oleh pemikir eksistensialisme seperti Martin Heidegger. Teknologi tidak bisa hanya dibaca sebagai problem tekni tetapi merupakan persoalan penting eksistensi manusia (Lim, 2012: 100-102).
Ia tidak hanya problem di luar tubuh manusia, tetapi secara filosofis dan antropologis menjadi karakteristik penting dari eksistensi dan hakikat manusia. Maka âkeruwetanâ ini pula yang aku sampaikan sebagai bagian dari pendampingan terhadap para mahasiswa. Tidak hanya masalah melesatnya teknologi, tapi juga dimensi-dimensi lain yang berkontribusi dalam sebuah ladang yang bernama pendidikan.
Proses penyadaran adalah salah satu yang memang harus dimulai dari keteladanan. Cuplikan rekam jejak pada setiap perca kain pendidikan ini kurajut sebagai karya dan menghidupi spirit âmelayani dalam cahaya kebenaranâ.
Daftar Pustaka
Alma Buchari. 2008. Pemasaran Jasa Pendidikan yang Fokus Pada Mutu dalam Alma, Buchari dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan, Fokus Pada Mutu dan Layanan Prima. Alfabeta, Bandung.
Collins, Denis. 2011. Paulo Freire, Kehidupan, Karya & Pemikirannya. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Freire, Paulo. 2007. Politik Pendidikan: Kebudayaan, Kekuasaan dan Pembebasan. Pustaka Pelajar. Yogyakarta.
Gaffar, Vanessa. 2008. Customer Relationship Management (CRM) Jasa Pendidikan dalam Alma, Buchari dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan, Fokus Pada Mutu dan Layanan Prima. Alfabeta, Bandung.
Lim, Franscis. 2012. Filsafat Teknologi (Don Ihde Tentang Dunia, Manusia dan Alat). Kanisius. Yogyakarta.
Musa, Ibrahim. 2008. Korporasi Produksi Pendidikan : Suatu Paradigma Reformasi dan Otonomi dalam Alma, Buchari dan Ratih Hurriyati (ed). Manajemen Corporate & Strategi Pemasaran Jasa Pendidikan, Fokus Pada Mutu dan Layanan Prima. Alfabeta, Bandung.
Pieris John (peny.). 2007. Erich Fromm : Revolusi Pengharapan, Menuju Masyarakat Teknologi yang Semakin Manusiawi. Pelangi Cendekia. Jakarta
Susetyo, Benny. 2005. Politik Pendidikan Penguasa. LKiS. Yogyakarta Hadi, Bambang Sutopo. Senin, 2 Juni 2014. âPersaingan PTS diperkirakan semakin
ketat pada 2015â, diakses dari http://jogja.antaranews.com/berita/322919/persaingan-pts-diperkirakan-semakin-ketat-pada-2015 pada 23 Agustus 2015
Pikiran Rakyat. 15 September 2012. âUU No 12/2012 Buat Kondisi PTS Semakin Terjepitâ, diakses dari http://www.pikiran-rakyat.com/node/203549 akses 22 Agustus 2015.
IRE. 16 Oktober 2010. âPTS di Yogyakarta Terus Menyusutâ diakses dari http://edukasi.kompas.com/read/2010/10/16/08160725/PTS.di.Yogyakarta.Terus.Menyusut
Narwaya, Guntur. 2009. Mimpi Pendidikan Untuk Semua, Makalah tidak dipublikasikan